ShoutMix chat widget

Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di [tutup]

Minggu, 13 Maret 2011

Tiga Pokok Pendidikan Anak


Ada banyak isyarat di dalam al-qur’an yg harus diperhatikan oleh setiap muslim. Satu dari sekian isyarat itu adalah tentang pokok-pokok pendidikan anak yg dilakukan oleh seorang ahli hikmah yg bernama Luqman.
Allah SWT mengabadikan keberhasilan Luqman dalam mendidik anak-anaknya di dalam surat Luqman atau surat 31.
Dalam tulisan yg singkat ini, ada beberapa ayat yg perlu kita ambil sebagai pokok-pokok pendidikan dari orang tua terhadap anak-anaknya. Allah berfirman yang artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya ketika ia memberi pelajaran kepadanya : “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalh benar-benar kezaliman yang besar”. Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua (ibu bapaknya); ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tua, hanya kepada-Kulah kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yg tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yg kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kamu kembali, maka keberitahukan kepadamu apa yg telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah maha halus lagi maha mengetahui (QS. 31:13-16).

Dari ayat di atas, sekurang-kurang ada tiga pokok pendidikan yg harus ditanamkan orang tua kepada anak-anaknya.
1. Memiliki Tauhid Yang Mantap.
Memiliki tauhid atau iman yg mantap merupakan sesuatu yg amat penting dalam kehidupan seorang muslim. Dengan iman yg mantap, sesorang akan memiliki akhlak yg mulia sebagaimana Rasulullah bersabda : Mukmin yg sempurna imannya, bagus akhlaknya (HR. Tirmidzi).
Disamping itu dengan iman yg mantap, seorang mukmin akan memiliki rasa malu sehingga dia tidak mau melakukan hal-hal yg bernilai maksiat sebagaimana sabda Rasulullah SAW : malu itu cabang dari iman.
Dengan iman yg mantap, seorang mukmin juga suka memakmurkan masjid, baik membantu pembangunannya secara fisik, memelihara kebersihan masjid itu, melaksanakan berbagai aktifitas yg bermanfaat dan tentu saja shalat berjamaah di masjid, Rasulullah SAW bersabda: Apabila kamu melihat seseorang membiasakan datang ke masjid, maka saksikanlah dia itu sebagai seorang mukmin (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Masih begitu banyak sifat-sifat mukmin yg tidak mungkin kita sebutkan dalam tulisan yg singkat ini, tegasnya dengan iman yg mantap, seseorang dengan senang hati akan menjalankan ketentuan-ketentuan Allah SWT dalam kehidupan ini, yg diperintah akan selaludikerjakannya dan yg dilarang akan ditinggalkannya. Oleh karena itu, dalam awal pembinaan para sahabatnya, Rasulullah SAW lebih memprioritaskanpembinaan iman dan sebagaimana yang dilakukan Luqman terhadap anaknya, maka setiap orang tua pada zaman sekarang juga harus menanamkan keimanan yg mantap kepada anak-anaknya, dengan iman yg mantap itu dijamin sang anak akan berlaku baik, dimanapun dia berada, kemanapun dia pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya.


2. Berbuat Baik Kepada Orang Tua.
Disamping iman yg mantap, yg harus ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya adalah berbuat baik kepada orang tua. Karena itu kepada para sahabatnya, Rasulullah SAW juga menekankan agar mereka berbuat baik kepada orang tuanya, maka ketika ada sahabat bertanya tentang siapa yg harus dicintainya dalam hidup ini, beliau menjawab : “Allah dan Rasul-Nya”. Lalu sahabat itu bertanya lagi : “siapa lagi ya Rasul”. Rasul menjawab : “ibumu”, jawaban ini dikemukakan Rasul hingga tiga kali baru setelah itu: “bapakmu”.
Terhadap orang tua, jangankan sampai memukul atau menyakiti secara fisik, berkata “ah” saja sebagai penolakan terhadap keinginannya yg baik tidak boleh kita lakukan karena hal itu sangat menyakitkan orang tua, Allah berfirman yg artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg mulia (QS 17:23).
Meskipun demikian, di dalam surat Luqman diatas ditegaskan bahwa berlaku baik Kepada orang tua tetap tidak boleh melanggar prinsip tauhid yg harus mentaati Allah diatas segalanya, maka bila perintah dan keinginan orang tua bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah, maka keinginan dan perintah itu tidak boleh kita penuhi, tapi tetap harus berlaku baik kepada orang tua.
Ketaatan kepada orang tua punya arti yg sangat penting dalam kehidupan manusia, dengan taat pada orang tua, insya Allah seorang muslim akan memperoleh keberkahan dalam hidupnya karena Allah akan ridha kepadanya, dan bila seseorang dimurkai oleh orang tuanya, maka Allah juga tidak meridhainya. Rasulullah SAW bersabda: Ridha Allah terletak pada kemurkaan orang tua.

      3. Bertanggung Jawab Dalam Berbuat.
Pokok pendidikan anak yg ketiga yg ditanamkan Luqman kepada anaknya adalah rasa tanggung jawab terhadap apa yg dilakukannya di dunia ini, karena seluruh yg dilakukan oleh manusia akan ada pertanggung jawabannya di akhirat atau ada balasannya, amal baik akan dibalas dengan kebaikan dan amal buruk akan dibalas dengan keburukan. Di dalam ayat lain, Allah berfirman yg artinya:  Barangsiapa yg mengerjakan kebaikan  seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (QS 99:7-8).
Dengan tertanamnya rasa tanggung jawab terhadap apa yg dilakukannya, seorang anak insya Allah akan berhati-hati dalam melakukan kesalahan meskipun kesalahan itu mengandung kenikmatan duniawi, peluang melakukannya besar dan tidak ada orang yg melihatnya, karena Allah SWT tentu maha melihat atas apa yg dilakukannya. Ini berarti ada rasa bertanggung jawab terhadap perbuatan seseorang sangat besar pengaruh positifnya dalam kehidupan, karena dengan demikian masing-masing orang dalam mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Dalam kaitan ini, seorang muslim sangat dituntut memiliki pengetahuan tentang mana yg boleh dan yg tidak boleh dilakukannya, tanpa mengetahui itu, bisa jadi seseorang melakukan sesuatu yg sebenarnya tidak boleh dilakukannya atau tidak melakukan sesuatu padahal itu merupakan sesuatu yg mesti dilakukannya karena hidupnya dijalani dengan taklid atau ikut-ikutan saja yg tidak dibenarkan Allah SWT sebagaimana yg terdapat dalam  Al-Qur’an yg artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya (QS 17:36).
Disamping pokok-pokok pendidikan terhadap anak berupa menanamkan tauhid atau iman yg mantap, berbuat baik pada orang tua dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap perbuatan yg dilakukannya, Luqman, seorang ahli hikmah yg namanya diabadikan dalam Al-Qur’an juga menanamkan hal-hal penting lainnya dalam pendidikan terhadap anaknya sehingga sang anak mejadi anak yg shaleh. Allah memfirmankan nasihat Luqman kepada anaknya yg artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yg baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yg munkar dan bersabarlah terhadap apa yg menimpa kamu. Sesungguhnya yg demikian itu termasuk hal-hal yg diwajibkan (oleh Allah)” (QS 31:17).

Cerita motivasi : kisah pohon apel


Dahulu kala, ada sebuah pohon apel besar. Seorang anak kecil suka datang dan bermain-main setiap hari, dia senang naik ke atas pohon, makan apel, tidur sejenak di bawah bayang-bayang pohon apel ... ia mencintai pohon apel itu dan pohon itu senang bermain dengan dia.

Waktu berlalu ...

Anak kecil itu sudah dewasa dan dia berhari-hari tidak lagi main di sekitar pohon. Suatu hari anak itu datang kembali ke pohon dan ia tampak sedih. “Ayo bermain dengan saya”, pinta pohon apel itu. Aku bukan lagi seorang anak, “saya tidak bermain di sekitar pohon lagi”, anak itu menjawab. “aku ingin mainan. Aku butuh uang untuk membelinya”. “ maaf tapi saya tidak punya uang .... tapi anda bisa mengambil buah apel saya kemudian menjualnya. Maka anda akan mempunyai uang”. Anak laki-laki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua apel di pohon dan kemudian pergi dengan gembira. Anak itu tidak pernah kembali setelah ia mengambil buah apel. Pohon itu sedih. Suatu hari anak itu kembali dan pohon itu sangat senang. “Ayo bermain dengan saya” kata pohon apel. “Saya tidak punya waktu untuk bermain. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membuutuhkan rumah untuk tempat tinggal dapatkah anda membantu saya?” “maaf tapi aku tidak punya rumah. Tetapi anda dapat memotong cabang-cabang saya untuk membangun rumahmu”. Lalu, anak laki-laki itu menebang semua dahan dan ranting dari pohon dan pergi dengan gembira. Pohon itu senang melihatnya bahagia, tapi anak itu tidak pernah kembali sejak saat itu. Pohon itu kesepian dan sedih. Suatu hari di musim panas, anak itu kembali dan pohon itu tampak gembira. “Ayo bermain-main dengan saya!” kata pohon apel. “saya sangat sedih dan sudah sangat tua untuk bermain. Saya ingin pergi berlayar untuk bersantai dengan diriku sendiri. Dapatkah kau memberiku perahu?” “Gunakan batang pohonku untuk membuat perahu. Anda dapat berlayar yg jauh dan bahagia”. Lalu anak itu memotong batang pohon untuk membuat perahu. Dia pergi berlayar dan tak pernah muncul untuk waktu yg sangat panjang. Akhirnya, anak itu kembali setelah pergi selama bertahun-tahun. “Maaf, anakku, tapi aku tidak punya apa-apa untuk anda lagi. Tidak ada lagi apel untuk ananda. ...” kata pohon. “Saya tidak punya gigi lagi untuk mengigit” jawab anak itu.
“Tidak ada lagi batang bagi anda untuk memanjat”.
“Saya terlalu tua untuk itu sekarang” kata anak itu.
“Saya benar-benar tidak bisa memberikan apa-apa ...... satu-satunya yg tersisa adalah akar sekarat” kata pohon apel dengan air mata.
“Aku tidak membutuhkan banyak sekarang, hanya sebuah tempat untuk beristirahat. Saya lelah setelah sekian tahun berlayar.” Anak itu menjawab. “Bagus! Akar Pohon Tua adalah tempat terbaik untuk bersandar dan beristirahat di situ.”  “Ayo, ayo duduk bersama saya dan istirahat”
Anak itu duduk dan pohon itu sangat gembira dan tersenyum dengan air mata.
Ini adalah cerita untuk semua orang. Pohon adalah orang tua kita. Ketika masih muda, kita senang bermain dengan ibu dan ayah ...
Ketika kita tumbuh dewasa, kita meninggalkan mereka ... hanya datang kepada mereka ketika kita memerlukan sesuatu atau ketika kita berada dalam kesulitan. Tidak peduli apa pun, orang tua akan selalu berada di sana dan memberikan segala sesuatu yg mereka bisa untuk membuat anda bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak laki-laki itu kejam kepada pohon tapi itu adalah tergantung bagaimana kita semua memperlakukan orang tua kita.

Cerpen : Menjelang Subuh

Mengerikan? Aku tersentak. Bersijingkat coba jauh dari makhluk menakutkan yg masih tertinggal dalam selimutku. Yg hangat bau wangi. Kau tak pantas di sana, setan? Menggangguku dan mencuri nyaman dari tidurku. Jika aku pergi, kau pasti menguasai lahanku dan boleh jadi menyabotnya,memilikinya. Enak saja kamu!aku balik menguap dan mendekam lagi dalam selimut.
“Bangunlah Anakku! Bangun dan cuci wajahmu”
“Ngantuk ibu. Nantilah sepuluh menit lagi.”
“Semua itu setan. Malas dan menunda. Ayo tinggalkan yg mengerikan!”
Kulihat wajah ibu. Binar mentari menjelang Subuh. Betapa teduh. Saat semua makhluk masih lelap dipeluk mimpi dan hanya kau yg jaga.
“Sepagi ini kau sudah kalah?” teriak ibu dari balik pintu.
“Kalah? Memangnya ada perang apa semalam, Bu?”
“Perang Abadi, antara manusia dan setan. Dan kau telah jadi tawanan!”
“Tidak! Teroris mana yg telah menawanku, memborgol kedua lenganku yg lunglai untuk sekedar berwudhu? Tidak, Ibu! Aku makhluk merdeka. Lihatlah kedua tangan ini! Tapi? Dimana tanganku?” oleh cemas dan gusar aku melonjak bangun kembali. Kucari tanganku di seantero ranjang. Tak ketemu. Tak ada disemesta kolong dan ruang-ruang kuseru. Hanya gaung suaraku menderu.
“Di mana tanganku, Ibu?”
Aku berlari menyusulnya ke halaman di mana ia mulai bertaman. Bunga krisan ungu, oranye dan biru putih. Bulan September bakal munculkan rakbol yg eksotik dan ia menyambutnya dengan menanam begonia sebagai kawan-kawan penyemarak hari-hari bersemi. Ia selalu mendahului mentari. Belum juga dadali bernyanyi. Dingin subuh menampar-nampar wajahku. Ibuku ratu senyap yg penuh bahagia.
“Di mana kau letakkan tanganmu?”
“Di samping tubuhku”
“Nah. Carilah di situ!”
“Tak ada. Ia raib sejak entah!”
“Pasti sejak kamu kalah dalam pertempuran itu. Coba kau benar meletakkannya, tak mungkin ia hilang”
“Aku kalah? Dan salah meletakkan tanganku? Memangnya di mana harus menaruh kedua tangan, Ibu?” Aku coba memperhatikan tangannya yg sedang asyik menyirami bunga di taman. Tak ada yg aneh. Tangan itu menggantung persis di samping badannya yg langsing oleh jamu alami, jus belimbing & jambu sukun, minuman & sarapan pagi.
“Memangnya di mana harus meletakkan tangan, Ibu?”
“Di bawah fuadmu. Tangan mesti diletakkan antara ruh dan pikiran. Namun sejatinya, ruhlah pengendali segalanya.”
“Itu sufistik sekali. Sejak kapan ibu bersufi-sufian?”
“Sejak hidup di mula di subuh hari. Ada fajar yg terbit di kalbu manusia. Beningnya memancar cahaya hidup. Maka jangan sekali-kali lewatkan itu, kamus alam yg mengajarimu membaca dunia”
“Jadi?”
“Harus benar melatakkan segalanya pada fitrahnya.”
“Tanyakan pada –hati terdalam- mu”
Begitulah ibuku. Di pagi yg cerah ia telah menamparku dengan kepingan tanya yg meruyak pikiran. Aku terkagum oleh banyaknya bunga yg telah ditanam tangan lembut itu. Bermacam bunga. Bermacam warna. Aroma keindahan meruap dari balik tangannya. Jari jemari yg gesit tak kenal lelah pantang menyerah. Bergerak selalu. Nada hidup mengalun dari gulatan nadinya. Meliuk dalam aortanya.
Tak ada pembantu dalam keluarga ini. Ibuku bangun pagi sebelum matahari muncul dan mata Ayah menyala. Segalanya ia kerjakan dalam diam. Ia penghayat hidup yg setia. Sesekali saja ia bicara dalam masa genting dan penting. Kukira benar. Ia telah meletakkan tangannya di bawah fuadnya, kendali kalbu paling dalam. Tentu bahwa ia punya pikiran, namun tak cukup sebatas pikiran. Ibuku bukanlah kaum rasional yg memuja pikiran. Namun ia cukup rasional. Dan emosional.
Aku tau tingkat pendidikan ibu lumayan tinggi. Ia sempat mengenyam bangku kuliah sampai S2. Aku beharap suatu saat ibuku mau jadi perempuan karier seperti teman-temannya. Pakai setelan necis bau wangi dan mengemudi mobil sendiri pergi ke kantor. Lalu kata ibu. “Dan kalian mengurus rumah, mejaganya tanpa sekolah?”
“Kan bisa cari pembantu. Dan semuanya beres!”
“Ah masa? Rumah di bangun untuk surga para penghuninya, bukan untuk ditinggal kosong bersama pembantu.”
“Surga juga bisa dibangun bersama pembantu.”
“Masalahnya bukan sekedar pembantu. Namun kita, kalian semua mesti belajar hidup dari tangan kalian sendiri. Sesuatu yg kalian tanam dari tangan sendiri, itulah surga. Bukan yg lain!”
“Ibu kuno! Jadi untuk apa pendidikan tinggi? Sekedar memasak? Berkebun?”
“Sama sekali salah, Anakku! Tak ada yg sekedar dalam pencapaian ilmu. Pendidikan itu wajib, sebagai upaya membangun budi pekerti. Kalau hanya memasak, tak usah sekolah. Kalau hanya cari uang, tak usah kuliah. Tapi mendidik keluarga, adalah juga mendidik bangsa. Dan itu tak bisa hanya main-main. Kita semua orang, lebih lagi kaum perempuannya semestinya sekolah yg tinggi. Agar keluarga sehat dan bangsa ini juga sehat!”
“Memangnya kesehatan bangsa ditentukan oleh kita para perempuan?”
“Itu adalah kenyataan bahwa laki-laki tak sanggup menyehatkan bangsa. Lihatlah! Kita ini sedang hidup di suatu negara di mana laki-laki telah gagal jadi pemimpin. Nafas mereka ngos-ngosan. Dalam hati mereka berteriak ‘Tolong kami wahai Perempuan...!’. namun harga diri itu terlampau tinggi. Sehingga semuanya hanyalah gumam belaka. Namun kita terlanjur membaca”
“Ibu sok tau deh!”
Aku pun menjerang air dan menyalakan toaster pemanggang roti. Adikku satu-satunya baru terbangun saat udara telah penuh aroma margarine terbakar yg menyusup ke balik selimut.
“Aku yg pake pisang raja ah!”, comotnya.
“Bolehnya. Sudah bangun telat, bakar aja sendiri!”
“Alaaa mana mungkin. Aku kan laki-laki.”
“Siapa bilang laki-laki tak boleh bakar roti. Bangun telat dilarang men....!”
“Laki-laki wajar bangun telat. Lihat saja ayah, setiap pagi paling akhir. Perempuan dilarang...betul kan, Bu?”
Ibuku dengan sepoci teh panas duduk tenang menata gelas demi gelas, menyahuti omongan adikku.
“Bukan waktunya lagi bicara laki-laki dan perempuan. Tetapi manusia. Karena laki-laki manusia dan perempuan juga manusia, maka kalian semua sama. Bangun telat ya roti selai”
“Yah...! selai nanas bikin batuk, Bu!”
“Mau yg sehat? Jangan telat!”
“Jadi?”
“Nikmati saja bagian masing-masing.”
“Lalu bagian ayah?”, tiba-tiba dari belakang, Ayah menyahut sedih. Adikku girang mendengar nada itu merasa punya teman senasib. Tetapi Ayah melirik Ibu berharap menangguk nasib baik. Cukup bijaksana ibu melempar keputusan padaku atas alasan.
“Dia yg memasak dengan tangannya paling berhak atas masakannya.”
Aku melambung. Untukku sendiri, yg pasti pisang raja dan susu coklat. Ibu juga kebagian sama. Lalu Ayah dan Adikku merengut wajahnya. Aku coba konsultasi Ibu mengatasi guratan wajah tak sedap itu. Ibu tak acuh. Timbul ide dalam benakku. Oke kita semua sama. Empat pasang roti dipotong jadi dua. Dan kami mendapat jatah yg sama dengan catatan. Esuk mereka, Ayah dan Adikku ganti yg memanggang sarapan pagi.
Ibu senyam-senyum melihat wajah Adikku  dan juga Ayah jadi sumringah. Kadang Ayah suka lupa, menyabot bagian Ibu karena enaknya. Dan Ibu selalu saja memaafkannya. Atas alasan cinta, Ibu tahan lapar dan sakit berdarah-darah. Dan Adikku pewaris tunggal perangai buruk Ayahku, hanya menyisakan separo dari roti itu. Aku menatapnya tajam lalu Ibukku cepat-cepat membisik tanya.
“Sudah kau temukan kedua tanganmu?”
Terkagum aku menjawab.
“Ya. Ibu, sudah kutemukannya!”