Mengerikan? Aku tersentak. Bersijingkat coba jauh dari makhluk menakutkan yg masih tertinggal dalam selimutku. Yg hangat bau wangi. Kau tak pantas di sana, setan? Menggangguku dan mencuri nyaman dari tidurku. Jika aku pergi, kau pasti menguasai lahanku dan boleh jadi menyabotnya,memilikinya. Enak saja kamu!aku balik menguap dan mendekam lagi dalam selimut.
“Bangunlah Anakku! Bangun dan cuci wajahmu”
“Ngantuk ibu. Nantilah sepuluh menit lagi.”
“Semua itu setan. Malas dan menunda. Ayo tinggalkan yg mengerikan!”
Kulihat wajah ibu. Binar mentari menjelang Subuh. Betapa teduh. Saat semua makhluk masih lelap dipeluk mimpi dan hanya kau yg jaga.
“Sepagi ini kau sudah kalah?” teriak ibu dari balik pintu.
“Kalah? Memangnya ada perang apa semalam, Bu?”
“Perang Abadi, antara manusia dan setan. Dan kau telah jadi tawanan!”
“Tidak! Teroris mana yg telah menawanku, memborgol kedua lenganku yg lunglai untuk sekedar berwudhu? Tidak, Ibu! Aku makhluk merdeka. Lihatlah kedua tangan ini! Tapi? Dimana tanganku?” oleh cemas dan gusar aku melonjak bangun kembali. Kucari tanganku di seantero ranjang. Tak ketemu. Tak ada disemesta kolong dan ruang-ruang kuseru. Hanya gaung suaraku menderu.
“Di mana tanganku, Ibu?”
Aku berlari menyusulnya ke halaman di mana ia mulai bertaman. Bunga krisan ungu, oranye dan biru putih. Bulan September bakal munculkan rakbol yg eksotik dan ia menyambutnya dengan menanam begonia sebagai kawan-kawan penyemarak hari-hari bersemi. Ia selalu mendahului mentari. Belum juga dadali bernyanyi. Dingin subuh menampar-nampar wajahku. Ibuku ratu senyap yg penuh bahagia.
“Di mana kau letakkan tanganmu?”
“Di samping tubuhku”
“Nah. Carilah di situ!”
“Tak ada. Ia raib sejak entah!”
“Pasti sejak kamu kalah dalam pertempuran itu. Coba kau benar meletakkannya, tak mungkin ia hilang”
“Aku kalah? Dan salah meletakkan tanganku? Memangnya di mana harus menaruh kedua tangan, Ibu?” Aku coba memperhatikan tangannya yg sedang asyik menyirami bunga di taman. Tak ada yg aneh. Tangan itu menggantung persis di samping badannya yg langsing oleh jamu alami, jus belimbing & jambu sukun, minuman & sarapan pagi.
“Memangnya di mana harus meletakkan tangan, Ibu?”
“Di bawah fuadmu. Tangan mesti diletakkan antara ruh dan pikiran. Namun sejatinya, ruhlah pengendali segalanya.”
“Itu sufistik sekali. Sejak kapan ibu bersufi-sufian?”
“Sejak hidup di mula di subuh hari. Ada fajar yg terbit di kalbu manusia. Beningnya memancar cahaya hidup. Maka jangan sekali-kali lewatkan itu, kamus alam yg mengajarimu membaca dunia”
“Jadi?”
“Harus benar melatakkan segalanya pada fitrahnya.”
“Tanyakan pada –hati terdalam- mu”
Begitulah ibuku. Di pagi yg cerah ia telah menamparku dengan kepingan tanya yg meruyak pikiran. Aku terkagum oleh banyaknya bunga yg telah ditanam tangan lembut itu. Bermacam bunga. Bermacam warna. Aroma keindahan meruap dari balik tangannya. Jari jemari yg gesit tak kenal lelah pantang menyerah. Bergerak selalu. Nada hidup mengalun dari gulatan nadinya. Meliuk dalam aortanya.
Tak ada pembantu dalam keluarga ini. Ibuku bangun pagi sebelum matahari muncul dan mata Ayah menyala. Segalanya ia kerjakan dalam diam. Ia penghayat hidup yg setia. Sesekali saja ia bicara dalam masa genting dan penting. Kukira benar. Ia telah meletakkan tangannya di bawah fuadnya, kendali kalbu paling dalam. Tentu bahwa ia punya pikiran, namun tak cukup sebatas pikiran. Ibuku bukanlah kaum rasional yg memuja pikiran. Namun ia cukup rasional. Dan emosional.
Aku tau tingkat pendidikan ibu lumayan tinggi. Ia sempat mengenyam bangku kuliah sampai S2. Aku beharap suatu saat ibuku mau jadi perempuan karier seperti teman-temannya. Pakai setelan necis bau wangi dan mengemudi mobil sendiri pergi ke kantor. Lalu kata ibu. “Dan kalian mengurus rumah, mejaganya tanpa sekolah?”
“Kan bisa cari pembantu. Dan semuanya beres!”
“Ah masa? Rumah di bangun untuk surga para penghuninya, bukan untuk ditinggal kosong bersama pembantu.”
“Surga juga bisa dibangun bersama pembantu.”
“Masalahnya bukan sekedar pembantu. Namun kita, kalian semua mesti belajar hidup dari tangan kalian sendiri. Sesuatu yg kalian tanam dari tangan sendiri, itulah surga. Bukan yg lain!”
“Ibu kuno! Jadi untuk apa pendidikan tinggi? Sekedar memasak? Berkebun?”
“Sama sekali salah, Anakku! Tak ada yg sekedar dalam pencapaian ilmu. Pendidikan itu wajib, sebagai upaya membangun budi pekerti. Kalau hanya memasak, tak usah sekolah. Kalau hanya cari uang, tak usah kuliah. Tapi mendidik keluarga, adalah juga mendidik bangsa. Dan itu tak bisa hanya main-main. Kita semua orang, lebih lagi kaum perempuannya semestinya sekolah yg tinggi. Agar keluarga sehat dan bangsa ini juga sehat!”
“Memangnya kesehatan bangsa ditentukan oleh kita para perempuan?”
“Itu adalah kenyataan bahwa laki-laki tak sanggup menyehatkan bangsa. Lihatlah! Kita ini sedang hidup di suatu negara di mana laki-laki telah gagal jadi pemimpin. Nafas mereka ngos-ngosan. Dalam hati mereka berteriak ‘Tolong kami wahai Perempuan...!’. namun harga diri itu terlampau tinggi. Sehingga semuanya hanyalah gumam belaka. Namun kita terlanjur membaca”
“Ibu sok tau deh!”
Aku pun menjerang air dan menyalakan toaster pemanggang roti. Adikku satu-satunya baru terbangun saat udara telah penuh aroma margarine terbakar yg menyusup ke balik selimut.
“Aku yg pake pisang raja ah!”, comotnya.
“Bolehnya. Sudah bangun telat, bakar aja sendiri!”
“Alaaa mana mungkin. Aku kan laki-laki.”
“Siapa bilang laki-laki tak boleh bakar roti. Bangun telat dilarang men....!”
“Laki-laki wajar bangun telat. Lihat saja ayah, setiap pagi paling akhir. Perempuan dilarang...betul kan, Bu?”
Ibuku dengan sepoci teh panas duduk tenang menata gelas demi gelas, menyahuti omongan adikku.
“Bukan waktunya lagi bicara laki-laki dan perempuan. Tetapi manusia. Karena laki-laki manusia dan perempuan juga manusia, maka kalian semua sama. Bangun telat ya roti selai”
“Yah...! selai nanas bikin batuk, Bu!”
“Mau yg sehat? Jangan telat!”
“Jadi?”
“Nikmati saja bagian masing-masing.”
“Lalu bagian ayah?”, tiba-tiba dari belakang, Ayah menyahut sedih. Adikku girang mendengar nada itu merasa punya teman senasib. Tetapi Ayah melirik Ibu berharap menangguk nasib baik. Cukup bijaksana ibu melempar keputusan padaku atas alasan.
“Dia yg memasak dengan tangannya paling berhak atas masakannya.”
Aku melambung. Untukku sendiri, yg pasti pisang raja dan susu coklat. Ibu juga kebagian sama. Lalu Ayah dan Adikku merengut wajahnya. Aku coba konsultasi Ibu mengatasi guratan wajah tak sedap itu. Ibu tak acuh. Timbul ide dalam benakku. Oke kita semua sama. Empat pasang roti dipotong jadi dua. Dan kami mendapat jatah yg sama dengan catatan. Esuk mereka, Ayah dan Adikku ganti yg memanggang sarapan pagi.
Ibu senyam-senyum melihat wajah Adikku dan juga Ayah jadi sumringah. Kadang Ayah suka lupa, menyabot bagian Ibu karena enaknya. Dan Ibu selalu saja memaafkannya. Atas alasan cinta, Ibu tahan lapar dan sakit berdarah-darah. Dan Adikku pewaris tunggal perangai buruk Ayahku, hanya menyisakan separo dari roti itu. Aku menatapnya tajam lalu Ibukku cepat-cepat membisik tanya.
“Sudah kau temukan kedua tanganmu?”
Terkagum aku menjawab.
“Ya. Ibu, sudah kutemukannya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar