ShoutMix chat widget

Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di [tutup]

Jumat, 12 Agustus 2011

MANUSIA-MANUSIA TAK KENAL DOSA


Manusia dilahirkan dalam kesucian. Begitu juga dengan aku. Namun, dunia ini semacam zat yang mengantaminasi segalanya. Bayangkan, banyak gadis yang dulu suci berseri,kini murung dan tak bermasa depan. Aku membayangkan gadis murung itu saat masih bayi, saat TK, saat SD, saat tanpa rekayasa. Mungkin dialah anak yang ceria di taman-taman itu. Mungkin dialah yang merindukan bulan di malam hari seraya bernyanyi “Ambilkan Bulan Bu. Ambilkan Bulan Bu. Yang slalu bersinar di langit. Dilangit bulan bersinar. Cahyanya sampai ke Bintang” bulan adalah cita-citanya, masa depannya.
          Dan kini gadis itu murung. Rautnya telah carut-marut. Walaupun mengatasnamakan kemajuan zaman, tapi zaman yang carut-marut. Bedak, gincu, silikon atau sejenisnya ditanam di dalam ladang tubuhnya. Dan kini ia dalam genggaman para lelaki atau lelaki saja. Tapi apa bedanya? Mereka sama-sama bicara dengan tubuh mereka. Mereka telah kehilangan fitrah. Mereka sudah tak suci lagi. Tapi, wanita itu bukan pelacur atau PSK atau apapun istilahnya. Tapi apa bedanya? Toh, mereka kan sama-sama dosa. Kini wanita itu hanya bisa menyesali diri, dan tak bisa keluar dari kepungan zaman. Ia telah tersedot oleh acara TV-TV, MTV, HOLLYWOOD, BOLLYWOOD, kehidupan kasar,dan lain sebagainya. Ya, ia kini ibarat seseorang yang ditutup matanya dan dibiarkan saja berjalan sendirian di hiruk-pikuk kota.
          Dia memang tertawa-tawa, tapi matanya tak bisa berbohong. Ia sedih atas keceriaanya. Ia sepi di atas kehingar bingaran. Ia lenyap. Ia yang ada, hanyalah ia yang tidak ada. Memang membingungkan, tapi ialah yang kehilangan fitrahnya. Dan aku tak mau itu, oleh karena itu, izinkanlah aku untuk menjadi pemberontak sejati.
          Oh iya, tapi tak seharusnya aku disebut pemberontak. Karena aku justru berjalan di jalur yang benar. Dan karena mereka mengambil jalur yang berlawanan denganku, mereka menyebutku pemberontak. Dan aku menyebut diriku sendiri sebagai pemberontak sejati.

Selasa, 09 Agustus 2011

Nasi Goreng Spesial


PRAAANG! Dari dalam kamar Tiara, tiba-tiba, terdengar bunyi benda pecah. Tiara yang sedang santai membaca majalah, tersentak kaget. Ia segera berlari dan memeriksa kamarnya. Tampak Bi Ani sedang sibuk membereskan kamar.
“Ada apa, Bi? Ada yang pecah?” selidik Tiara.
“ngng... Anu Non,” Bi Ani terlihat gugup.
Tiara segera melihat ke lantai. Ternyata vas bunga kesayangannya telah hancur berkeping-keping. Benda itu tadinya ada di atas meja belajarnya .
“Aduh, kenapa bisa jatuh, sih, Bi? Itu, kan, vas bunga kesayangan Tiara. Kalau kerja jangan sambil melamun, dong!” bentak Tiara kesal.
“Maaf, Non. Nanti Bibi ganti vas bunganya, ya,”  tutur Bi Ani lagi gemetaran.
“Aaaa, enggak usah!” Tiara ngambek. “Ada apa, sih, dengan Bibi ini? Kemarin membolongi seragam Tiara dengan setrika. Sekarang, bikin pecah vas bunga! Kalau sudah tak mau kerja di sini, ya, pulang kampung saja!” omel Tiara sambil berkacak pinggang.
Bi Ani tertegun. Kepalanya tertunduk tak berani menatap Tiara yang sedang marah.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Mama datang menemui.
Tiara pun segera mengadu.
“Ya sudahlah, kamu tidak usah marah-marah begitu. Apalagi sampai kasar sama Bi Ani. Sekarang, Bi Ani tolong bereskan pecahan keramik itu, ya. Tapi hati-hati ya, Bi!” kata Mama dengan lembut.
Tiara cemberut. Mama selalu saja membela Bi Ani.
Esok paginya. Tak seperti biasanya mama sibuk menyiapkan sarapan.
“Mana nasi gorengnya, Ma?” tanya Tiara seperti biasa. Tiara memang sangat suka nasi goreng. Apalagi bila ditaburi bawang goreng, kerupuk, dan sedikit kecap kental.
“Hari ini tidak ada nasi goreng. Tapi ayam goreng dan sayur bayam,” jawab Mama.
Setelah sarapan Tiara segera berangkat sekolah.
Pulang dari sekolah, Tiara merasa haus. Enaknya, sih, makan es campur. Ia pun segera memanggil Bi Ani untuk membeli es di warung. Tetapi walau sudah dipanggil berkali-kali, Bi Ani tidak juga menyahut.
“Bi Ani lagi pulang kampung, Tiara,” Mama datang memberi tahu.
“Pulang kampung...” Tiara tertegun mendengarnya. Pantas saja tadi pagi tidak ada sarapan nasi goreng, batinnya.
Sehari..., Dua hari..., Tiga hari... tanpa kehadiran Bi Ani dirumah. Lama-lama Tiara merasa kelelahan, ia harus membantu Mama membereskan rumah, mencuci, menyetrika, memasak, dan banyak lagi pekerjaan rumah lainnya. Tangan Tiara sampai terasa pegal-pegal karena tak biasa.
Ahh, sekarang Tiara baru merasa kehilangan Bi Ani. Tiara juga baru benar-benar merasakan bagaimana lelahnya melakukan tugas-tugas Bi Ani selama ini. Bi Ani yang sudah agak tua itu selalu rajin, sabar, dan tersenyum dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi Tiara seolah tak pernah menghargainya. Sering kali ia berkata kasar padanya.
Memang, kadang Bi Ani melakukan kesalahan juga. Akan tetapi, bila dibanding dengan jasanya kesalahan kecil itu tak ada artinya. Tiba-tiba ada rasa penyesalan dalam hati Tiara. Ia merasa bersalah pada Bi Ani.
“Ma, Bi Ani kok, lama pulang kampungnya?” kata Tiara seraya duduk di sebelah Mamanya.
Mama tidak menyahut. Kedua matanya sedang asyik membaca majalah.
“Apa gara-gara ucapan Tiara waktu itu, ya? Tapi sungguh, Tiara tak bermaksud mengusirnya untuk pulang kampung...” Tiara seakan menyesal.
Mama menurunkan sedikit kacamatanya sambil melirik ke arah Tiara.
“Makanya kamu jangan selalu marah-marah pada Bi Ani!” tuturnya.
“Iya. Tiara ngaku salah, Ma,” sahut Tiara dengan tertunduk.
Mama tersenyum.
“Bi Ani pulang kampung karena anaknya sakit,” terang Mama kemudian.
“Terus kapan kesisni lagi?” tanya Tiara.
“Ya, mudah-mudahan secepatnya.”
Esoknya. Pagi-pagi sekali, Tiara sudah mencium aroma yang menusuk hidungnya. Aroma harum nasi goreng yang khas. Tiara tahu, siapa kokinya! Pasti Bi Ani! Tiara berlari ke arah dapur. Ternyata benar dugaannya. Bi Ani sudah mulai bekerja lagi.
“Bi Ani! Kapan datang? Bagaimana keadaan di kampung? Terus mana oleh-olehnya?” Tiara menyambut dengan gembira.
“Aduh, satu-satu, dong, Non, nanyanya!” Bi Ani tersenyum.
“Bi, maafkan Tiara ya. Selama ini Tiara suka kasar sama Bibi! Bibi mau, kan, memaafkan Tiara?” kata Tiara kemudian.
“Non Tiara... Sudahlah! Mending sekarang Non Tiara sarapan. Nih, Bibi buatkan nasi goreng spesial!” ujar Bi Ani yang memang berhati besar.
“Spesial, Bi? Emmm, yummy!” air liur Tiara hampir menetes.
Tiara segera menyantap nasi goreng buatan Bi Ani sampai habis.
“Ini benar-benar nasi goreng spesial yang super lezat. Terima kasih, Bi. Bi Ani memang hebat!” Tiara mengacungkan jempolnya. Bi Ani pun tergelak lucu. Kehangatan kembali terasa di rumah Tiara.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Resep Sakit Hati

Oh, engkau sakit hati ya?


 Begini, ikuti cara ini,

Mulailah dengan bersedih, marahlah, dan pikirkan pembalasan.

Lalu sadari bahwa itu tak mungkin kau lakukan
Sadarilah pula bahwa ia tak tahu dan
Tak peduli pada deritamu

Terus untuk apa kau gunakan waktu, pikiran, dan KEWARASANMU
untuk memikirkan dia yang tidak memikirkanmu

Sudahlah

Berfokuslah menjadikan dirimu pandai dan mampu

Lihat saja nanti!




Oh … engkau kecewa?


Memang mereka sering begitu,
tak sadar bahwa engkau telah
menyumbangkan banyak kebaikan
Yang bahkan tak mereka minta
Tanpa meminta yang seharusnya menjadi hakmu

Dan engkau merasa diperam dalam kepalsuan yang tak adil

Mau tahu jalan keluarnya?

Jadilah pribadi baik dan kompeten yang dikenal luas.
Jadilah pribadi yang diminta

Sabarlah!
Ini hanya masalah waktu






Menghormati Diri Sendiri!


Memang aneh, Tidak semua orang menghormati dirinya sendiri

Orang yang tidak menghormati diri sendiri biasanya karena belum tegas
Bertanggung jawab bagi kebaikan diri sendiri

Entah mengapa, dia merasa kebaikan hidupnya adalah tanggung jawab orang lain

Itu sebabnya mereka merasa bebas merusak kesehatannya
Dan meresikokan nama baiknya sendiri

Dia mengecewakan harapan baik ibunya.
Sayang, ya!



Jumat, 05 Agustus 2011

Kebohongan dari seorang ibu

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———- KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaanny menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :”Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :”Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya punya duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku “Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “jangan menangis anakku, aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ”

Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah.

Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas apakah dia bahagia bila di samping kita.

Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.